Megalitik berasal dari
kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman Megalitikum
biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah
dapat membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar.
Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu. Pada
zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupun kepercayaan mereka masih
dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang,
Salah satu peninggalan
benda pada masa megalitikum ialah di wilayah jawa tengah yang tepatnya adalah
di daerah purbalingga, dimana purbalingga adalah adalah suatu kabupaten di jawa
tengah, terletak kira-kira 100 km di sebelah barat kota yogyakarta. Daerah ini
ternyata mempunyai potensi yang besar dalam bidang kepurbakalaan, terbukti
banyaknya peninggalan prasejarah.
Sehingga kabupaten purbalingga adalah salah satu
kabupaten yang memiliki benda peninggalan pada masa megalitikum yang tidak
sedikit dan sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan tentang prasejarah. Dengan
mengacu pada uraian diatas kelompok kami membuat judul makalah “Fungsi benda
peninggalan megalitik di purbalingga’’
Bangunan-bangunan
megalithikum itu tersebar luas didaerah asia tenggara. disini tradisi yang
berhubungan dengan pendirian bangunan megakithikum ini sekarang sebagian sudah
musnah dan ada yang masih berlangsung. (Poesponogoro.`1992:205)
Menurut peneliti
arkeologi terbukti bahwa pengertian
kebudayaan megalitik tidak hanya dihubungkan dengan penggunaan batu besar,
tetapi penggunaan batu kecil pun bahkan kayu dianggap peninggalan megalitik
apabila fungsinya berkaitan dengan pemujaan arwah luhur dan upacara kesuburan.
Pada zaman Megalithikum
(Zaman Batu Besar ) di Indonesia, manusia purba telah mengenal suatu
kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau luar biasa diluar kekuatan manusia.
Mereka percaya terhadap hal-hal yang menakutkan atau serba hebat. Selain itu
mereka menyembah nenek moyangnya. Kadang kala kalau melihat pohon besar, tinggi
dan rimbun, manusia merasa ngeri. Manusia purba ini kemudian berkesimpulan
bahwa kengerian itu disebabkan pohon itu ada mahluk halus yang menghuninya.
Begitupun terhadap batu besar serta binatang besar yang menakutkan.
Kekuatan alam yang
besar seperti petir, topan, banjir dan gunung meletus dianggap menakutkan dan
mengerikan sehingga mereka memujannya. Selain memuja benda-benda dan binatang
yang menakutkan dan dianggap gaib, manusia purba juga menyembah arwah
leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh para nenek moyang mereka tinggal di tempat
tertentu atau berada di ketinggian misalnya di atas puncak bukit atau puncak
pohon yang tinggi. Untuk tempat turunnya roh nenek moyang inilah didirikan
bangunan megalitik yang pada umumnya dibuat dari batu inti yang utuh, keudian
diberi bentuk atau dipahat sesuai dengan keinginan atau inspirasi. Bangunan
megalitik hampir semuanya berukuran besar
Zaman megalithikum
dibagi menjadi dua gelombang yaitu :
Dalam garis besarnya
dapat dikenal 2 kelompok seperti megalitik tua antara 2500 SM sampai 1500 SM
dan megaltik muda dari milenium pertama Sebelum masehi (dikutip dari
pusponegoro dan Notosusanto, 1993:206) lihat dibuku Sejarah kebudayaan
indonesia, editor : Budiharto dkk. 2009. Rajawali Pres.
Baik teori-teori yang
terdahulu maupun yang diajukan kemudian oleh Von Heine Geldren telah diterima
oleh sebagian besar para ahli. Pada pembedahan antara megalithikum tua dan
megalithikum muda, Von Heine Geldren memasukkan megalithikum tua kedalam
Neolithikum. Tradisi ini didukung oleh para pemakai bahasa Austronesia yang
menghasilkan alat-alat beliung persegi dan mulai pula membuat benda atau
bangunan yang disusun dari batu besar,seperti dolmen,undak batu,limas (piramid)
berundak dan pelinggis. Penelitian lebih lanjut yang bertolak dari gagasan
kosmo-magis mengungkapkan unsure-unsur yang lebih asli lagi seperti antara lain
tembok batu dan jalan batu.
Sementara Pengaruh
terhadap perkembangan masyarakat di Indonesia Pada Zaman megalithikum sangatlah
besar Konsepsi pemujaan nenek moyang melahirkan tata cara yang menjaga tingkah
laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan hidup di dunia
akhirat disamping menambah kesejahteraan di dunia fana. Pada masa ini
organisasi masyarakat sudah teratur. Pengetahuan tentang teknologi yang berguna
dan nilai-nilai hidup terus berkembang,antara lain cara-cara pembiakan
ternak,pemilihan benih-benih tanaman dan penemuan alat-alat baru yang lebih
cocok untuk keperluan sehari-hari makin bertambah. Sikap hidup selalu berkisar
pada persoalan-persoalan manusia, bumi, hewan dan tabu. Perkampungan merupakan
pusat kehidupan setelah pola hidup mengembara di tinggalkan sama sekali.
Sementara itu Pendirian
candi-candi di Indonesia merupakan refleksi kelanjutan tradisi megalithikum
ini. Tentang gejala-gejala ini Von Heine Geldren telah memberikan pandangannya.
Sebelum itu tak seorang pun mengemukakan pengertian-pengertian yang di
tunjukkan pada tradisi megalithikum, selain dari yang berkisar dari corak dan
sifat yang “oud-anheemschoer-indonesisch,ataupun “prehindoeistisch”Hal ini
menjelaskan kepada kita bahwa tradisi megalithikum ikut menentukan
bentuk-susunan percandian di Indonesia. Tradisi megalithikum telah secara
formal mencampurkan diri dalam seni bangunan maupun seni pahat Jawa-Hindu dan
bahwa penggunaan bangunan berundak yang di hubungkan dengan pemujaan merupakan
campuran pandangan masyarakat Indonesia asli dengan siwaisme (Poesponogoro dan
Notosusanto.1992:206-211)
Terdapat Pula Menhir
menhir sebagai lambang dari jasa-jasanya kemudian menjadi lambang dari dirinya.
Kenangan dan penghargaan terhadap jasa-jasanya tadi beralih menjadi pemujaan
terhadap dirinya, yang tetap masih dianggap sebagai pelindung masyarakat.
Dengan upacar-upacara tertentu, rohnya dianggap turun kedalam menhir untuk
langsung berhubungan dengan para pemujannya Kalau untuk rohnya di dirikan
sebuah menhir, maka untuk raganya disediakan berbagai kuburan: keranda, kubur
batu, pandhusa atau lainnya dan kecuali jasa yang di bawa ke akhirat, maka
dalam kuburannya itu disertakan kepada mayatnya bermacam-macam benda, alat-alat
dan perhiasan, sebagai bekal .Selain itu Roh itu tempatnya jauh disana,
biasanya digambarkan di atas dunia ini, juga diatas gunung.
Guna menunjukkan letak
yang ada di atas itu, tidak jarang sebuah menhir didirikan diatas sebuah
bangunan berundak-undak, yang melambangkan tingkatan-tingkatan yang harus
dilalui guna mencapai tempat yang tertinggi. Banyak pula kalanya bahwa menhir
itu sudah tidak dinyatakan lagi, dan bahwa sebagai lambang dari alam pikiran
yang demikian itu cukuplah didirikan punden berundak-undak saja, sedangkan
sering pula terjadi bahwa roh nenek moyang itu dinyatakan dalam patung-patung.
.(Soekmono.1973:76-78)
Menhir
Menhir ialah sebuah
batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja
disuatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati.Temuan menhir pada
situs – situs megalitik di Purbalingga sejumlah 71 Orang, yang terbesar adalah
14 situs. Berdasarkan konteks temuan, menhir tersebut di kelompokan menjadi 3,
yaitu menhir yang berada di situs penguburan sejumlah 53 buah, di situs
pemujaan 13 buah, di pemukiman penduduk 5 buah. Menhir di situs penguburan
ditemukan berjajar dengan posisi utara – selatan dan berfungsi sebagai nisan
kubur. Di situs pemujaan berada di konteks dengan punden berundak, lumping
batu, batu altar, dan batu dakon. Sedangkan di pemukiman penduduk tidak
memiliki konteks dengan bangunan megalitik lainnya
Dolmen
Dolmen adalah peninggalan megalitik yang bentuknya
menyerupai meja batu yang terdiri dari bongkahan batu yang di tompangi empat
buah batu yang salah satu ujungnya ditanam di bawah tanah. Di Purbalingga hanya
di temukan satu buah .Fungsi dolmen berkait
dengan upacara pemujaan sebagai tempat meletakan sesaji.
Sarkofagus adalah suatu tempat untuk menyimpan
jenazah. Sarkofagus umumnya dibuat dari batu. Kata "sarkofaus" berasal dari
bahasa Yunani σάρξ (
sarx, "daging") dan
φαγεῖνειν (
phagein,"memakan"), dengan demikian sarkofagus bermakna "memakan daging".
Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus
seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat
untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah
makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di
ruang bawah tanah. Di
Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi
mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan
alabaster
Sarkofagus - kadang-kadang dari logam atau
batu kapur – juga digunakan oleh orang
Romawi kuno sampai datangnya agama
Kristen yang mengharuskan mayat untuk dikubur di dalam tanah.
[1]
Di Indonesia, tradisi membuat sarkofagus dari batu dikenal dalam
tradisi megalitik pernah atau masih hidup, seperti di
Tapanuli,
Sumba,
Minahasa (dikenal sebagai
waruga), serta di
Jawa.